Sejak kelas 6 SD aku sudah mulai bawa becak. Mbecak kalau istilah di kampung. Kalau bawa mobil kan disebut nyetir, bawa ojek ya ngojek, nah kalau becak disebutnya mbecak. Bisa dibayangin, kan, tubuh kurus, tinggi masih belum seberapa, kaki belum nempel pedal bila muter ke bawah? Hehehe.
Dulu bapakku buruh di
pabrik tekstil, gaji tidak seberapa. Jadi Ibu bantuin jualan bawang di pasar.
Setiap bada Subuh, ibu ke pasar untuk berjualan. Barang-barang dagangan dibawa
pakai becak. Awalnya pakai jasa becak orang lain, lama-lama pas udah lumayan
untungnya bisa beli becak sendiri.
Bapak kerjanya shift,
masuk pukul 06.00, pukul 14.00, dan pukul 22.00. Nah, setiap Sabtu dan Ahad, Bapak kebagian shift yang pukul 22.00, pulang sampai rumah sekitar pukul 07.00. Jadi, kalau Sabtu dan Ahad, Bapak nggak bisa
bawa barang dagangan Ibu ke pasar. Selain Sabtu dan Ahad, biasanya Bapak yang mbecak
ke pasar untuk bawa barang dagangan Ibu.
Akhirnya aku memberanikan
diri untuk menawarkan bantuan ke Ibu. “Wes, aku bae seng nggowo, sudah,
aku saja yang bawa," ujarku pada Ibu. Awalnya Ibu ragu, tapi karena aku sudah sering latihan jadi
bisa cukup meyakinkan.
Loh, jangan dikira bawa
becak itu gampang. Dulu aku latihannya sampai berminggu-minggu. Pernah terjatuh
pada saat jalan turun dari jembatan, belum lagi pernah nyebur got pas tikungan,
dan yang bikin berat ngayuh-nya itu loh, apalagi kaki belum bisa nempel terus di
pedal karena belum nyampe.
Oke, lanjut ceritanya. Jadi
tiap Sabtu sama Ahad sehabis Subuh aku yang bawa barang dagangan ke pasar pakai
becak. Karena Ibu kasihan sama aku yang masih kecil, beliau bantuin dorong
dari belakang sampai tanjakan gang.
Kadang aku mendengar Ibu di belakangku sambil dorong becak sambil baca-baca
doa, mungkin doa biar dagangannya laris. Hatiku terenyuh kalau ingat perjuangan Ibu dulu bantu Bapak cari nafkah.
Kalau pas suasana hatiku lagi nggak enak atau pas ngantuk banget, terkadang pas Ibu ndorong dari belakang, aku sengaja nggak ngayuh, jadi Ibu mungkin ndorong-nya lebih berat. Kalau inget begitu, kadang aku sedih karena pernah memperberat Ibu. Ya, mungkin dulu namanya anak kecil, masih labil emosinya.
Sampai di pasar setelah nurunin barang dagangan dan ditata di atas jalan, aku dibeliin Ibu bubur kacang ijo hangat kesukaanku. Hilang, deh, rasa ngantuk dan capekku, hehehe.
Nah, itu cerita kenapa aku
sudah mbecak sejak kelas 6 SD. Sekarang aku mau cerita sisi lain tentang aku
dan becak, yang sampai sekarang aku masih mengingatnya terus sebagai kenangan.
Dan terkadang, aku ceritakan pada saat aku mengisi materi sebagai selingan atau
guyon.
Selain sekolah di SD negeri, aku juga belajar di madrasah
tiap sore. Satu waktu, saat aku lagi mengikuti pelajaran di madrasah, pak ustadz bertanya kepadaku di kelas. “Haqi, Subuh tadi pas ustadz pulang dari mushola, kok, sepertinya lihat kamu mbecak ya, itu bener kamu?” selidiknya.
“Hahaha...” sontak satu
kelas tertawa. Aku? Senyum-senyum saja. Dengan santai menjawab, "Iya, Pak Ustadz, betul....”
“Hahaha... hahaha...” tawa teman-temanku semakin kencang pas tahu aku beneran mbecak. Awalnya
teman-teman sekelas mengira kalau pertanyaan ustadz itu cuma bercanda, ternyata
bener, malah makin terbaha-bahak mereka tahu aku beneran mbecak.
Pak Ustaz meredam
kericuhan kelas, lalu bilang, “Pak ustaz kaget, kok kecil-kecil gitu bisa bawa
becak. Tapi nggak apa-apa, Haqi, narik becak itu mulia, karena penumpangnya ditaruh
di depan. Coba kalau mobil atau motor, penumpangnya pasti di belakang
sopirnya.”
Cerita masih berlanjut,
simak GGB bagian II ya.
2 Komentar
mbecak dn pilot itu punya persamaan loh mas bai.. yaitu sama2 roda tiga
BalasHapushahahahaha betul pak andri, tapi beda di topinya ya. kalau pilot topinya buat gaya, kalau becak biar ga kepanasan hehe
BalasHapusTerimakasih telah mampir dan membaca, semoga bermanfaat. Silahkan tinggalkan komentar.