Suatu ketika saya berkesempatan diundang oleh salah satu Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) di Cianjur Jawa Barat untuk memberikan sambutan atas diresmikannya Baitul Maal KJKS sebagai Mitra Pengelola Zakat Dompet Dhuafa (DD). Sebelum acara dimulai, saya beserta undangan yang lain dipersilahkan makan siang terlebih dahulu dalam satu ruangan tertutup. Dalam ruangan tersebut ada saya, Kepala KJKS, Ketua Baitul Maal, Kepala Dinas Koperasi, dan Pegawai Pemerintah, sedangkan undangan umum yang lain makan prasmanan di lokasi acara.
Kemudian terjadilah perbincangan ringan sambil menikmati santap siang. Dalam perbincangan ketika saya memperkenalkan diri dari Dompet Dhuafa, pegawai pemerintah tiba-tiba nyletuk kurang mengenakkan. “Dompet Dhuafa programnya ga kelihatan, buktinya ga ada yang sampai ke sini. Lebih baik zakat di pemerintah, jadi UPZ (Unit Pengelola Zakat), lebih jelas, merata penyalurannya.”
Masya Allah, saya hanya menghela napas. Beliau sudah sepuh, diundang untuk memberikan ceramah, bisa dikatakan beliau seorang tokoh di sana. Saya memutuskan untuk diam saja, karena beliau tidak mau kalah dan berwatak keras. Daripada panjang tiada berujung dan acara segera akan dimulai, maka saya biarkan beliau menguatarakan isi pikirannya.
Usai makan siang, saat berjalan menuju lokasi seremoni, Ketua Baitul Maal berbisik kepada saya, “Mas Imam, omongan tadi mohon jangan dimasukkan dalam hati ya. Udah biasa kaya gitu mah, justru malah sekarang Bupatinya juga lagi ada indikasi masalah. Makanya kami lebih memilih jadi mitranya DD.”
DD adalah lembaga swasta milik masyarakat, dana yang terhimpun masih sangat jauh dengan kebutuhan masyarakat di seluruh Indonesia. Di Indonesia, zakat hanya masih sebatas filantropi atau kedermawanan, belum menjadi sebuah kebijakan, sehingga kita hanya bisa menghimbau masyarakat untuk mengeluarkannya. Oleh karena itu, pengelolaan zakat di Indonesia menjadi tidak adil dan tidak merata. Belum lagi bila ada kebijakan pemerintah yang menyulitkan kalangan bawah, terberangus sudah program pemberdayaan zakat. Akan tetapi, bukan berarti ikhtiar pengelolaan zakat menjadi terhenti.
DD lahir dengan swadaya masyarakat, menghimpun dana-dana sosial secara mandiri dari masyarakat dan perusahaan. Negara tidak pernah terbebani dengan APBN nya. DD bertindak bukan atas nama negara tetapi bertindak untuk negara dengan membantu menyelesaikan persoalan kemiskinan di negeri ini. Bukankah negara harusnya senang dengan keberadaan lembaga seperti ini? Persoalan tidak meratanya program di seluruh wilayah, itu sudah menjadi sebuah keniscayaan dengan terbatasnya dana yang dihimpun.
Kalau kita bicara negara, maka dana sudah tersedia, wilayah sudah dibagi-bagi per propinsi, kota, kabupaten, kecamatan, kelurahan, sampai ke tingkat RT RW. Masing-masing ada kepalanya yang bertanggungjawab terhadap wilayahnya. Lalu, kenapa pembangunan tidak berjalan dengan baik, jalan rusak, jembatan memprihatinkan, kemiskinan di mana-mana, kelaparan, kekeringan, dan sejumlah persoalan lainnya. Harusnya kami yang menanyakan kepada pemerintah kenapa sudah puluhan tahun merdeka masih banyak persoalan bangsa yang tak kunjung terselesaikan, buka sebaliknya.
Peran semua pihak dalam membangun negeri ini tetap dibutuhkan, jangan pernah merasa sombong hanya karena duduk di pemerintahan. Pemerintah itu pemegang mandat rakyat yang bertanggungjawab mengurus negara. Jangan justru berbangga dan merasa prestis apalagi sombong bekerja di lembaga pemerintahan. Sebaliknya rasa tanggung jawab dan kepedulian terhadap masyarakat yang harus selalu ditumbuhkan.
0 Komentar
Terimakasih telah mampir dan membaca, semoga bermanfaat. Silahkan tinggalkan komentar.